Kamis, 21 Agustus 2014

Berita Kebudayaan 1

Pengaruh Agama Kristen Terhadap Suku Pamona di Kabupaten Poso
Suku Pamona Dalam Periode Agama Suku (~1892)
J. Kruyt (anak dari A.C Kruyt/ penginjil pertama di Poso) dalam Kabar Keselamatan di Poso hal.38 menulis bahwa terdapat kepercayaan terhadap dewa – dewa yang berkembang sebelum masuknya penginjilan di tanah Poso (kurun waktu sebelum 1892). Ada satu istilah yang digunakan untuk merepresentasikan dewa yaitu Lamoa. Lamoa diterjemahkan sebagai dewa yang ilahi baik para bapa leluhur yang diperdewakan maupun roh – roh alam dan dewa – dewa langit (Woordenboek, Adriani dalam J.Kruyt hal.38). Masyarakat pamona mempercayai bahwa Lamoa adalah kuasa yang tidak kelihatan yang menentukan hidup matinya manusia dan segala makhluk hidup di dunia ini.
Selain Lamoa ada pula istilah yang paling dikenal suku Pamona yaitu Mpue Mpalaburu / Tuhan Pencipta ( J. Kruyt dalam Kabar Keselamatan di Poso hal. 39). Suku Pamona mempercayai bahwa Mpue Mpalaburu tinggal di tempat terbit dan terbenamnya matahari. Dialah yang menciptakan manusia.
Dalam periode agama suku, orang – orang Pamona sebenarnya telah menyadari bahwa ada satu kuasa di luar manusia yang memegang kendali kehidupan di alam semesta ini.

Kehidupan
Sepanjang hidupnya orang – orang Pamona merasa bahwa dirinya termasuk dalam satu persekutuan tempat dimana ia lahir. Ini tidak berdasarkan pilihannya sendiri, tetapi merupakan suatu keadaan yang ditentukan. Terdapat istilah Tanoana yang diartikan sebagai pengendali setiap individu atau sesuatu yang bernapas. Dalam istilah dr. Adriani (Pendamping J. Kruyt) tanoana dapat meninggalkan tubuh untuk sementara. Hal ini terjadi pada waktu insan yang bersangkutan tertidur dan apa yang diimpikan oleh seseorang yang tertidur adalah hal yang benar terjadi pada tanoananya yang mengembara. Hal serupa juga terjadi pada seseorang yang jatuh pingsan, dimana tanoananya pergi meninggalkan dirinya.
Demikianlah kita melihat bahwa tanoana berdiri sendiri, mengamati, bergerak dan mempunyai semacam kepribadian sendiri yang mendasari penentuan tabiat dan kehidupan manusia yang bersangkutan. Dapat disimpulkan bahwa seluruh kehidupan di bumi ini tersusun oleh tanoana yang beraneka ragam baik bentuk dan fungsinya. Dengan tanoana ini manusia bisa hidup dan beraktifitas dalam kesehariannya.
 
Kematian
J. Kruyt dalam Kabar Keselamatan di Poso hal. 48 menulis bahwa kematian oleh suku pamona adalah peristiwa berpindahnya status seseorang ke eksistensi yang lain. Artinya tanoana kehilangan fungsinya beserta eksistensinya. Orang yang sudah mati akan hidup dalam eksistensi yang lain dan ia disebut angga. Angga oleh sebagian tokoh agama kampung disebutkan langsung pergi ke wilayah – wilayah sorga. Walaupun demikian bagi orang – orang yang fana lainnya perjalanannya justru ke dunia bawah. Di dunia bawah para angga akan bertemu dengan hakim yang akan melihat apakah orang mati tersebut telah melunasi kewajibannya dalam kehidupan kebersamaannya, misalnya bagi laki – laki membentuk keturunan dan mengayau(berperang). Hakim tidak meminta pertanggungan –jawaban untuk bermacam – macam salah yang telah dilakukan orang mati semasa hidupnya.

Pertanian
Pertanian sudah mendarah daging bagi seorang Poso (J. Kruyt dalam Kabar Keselamatan di Poso hal. 61). Perladangan ialah dasar perekonomian dan menguasai hidupnya dalam arti yang luas. Pembagian tahun, penetapan waktu – waktu tertentu selama satu tahun, semuanya itu adalah didasarkan atas kesibukan – kesibukan di ladang. Orang – orang Poso secara khusus suku Pamona mempunyai satu kata yang dalam artinya sangat erat bertalian dengan pekerjaan yaitu Mejama berarti menyentuh dengan tanah atau bekerja dengan tangan atau juga mengerjakan pertanian. Istilah ini kemudian lebih dikenal dengan Mojama yang lebih erat kaitannya dengan bertani.
       
Situasi Politik
Di zaman periode agama suku, berkali – kali masyarakat di Poso digelisahkan oleh perang dan penyerbuan orang – orang secara tiba – tiba. Desa (lipu) adalah suatu tempat berkubu, dimana semua orang berkumpul, bukan hanya untuk perayaan – perayaan bersama dan upacara – upacara agama, tetapi juga untuk mencari perlindungan dan mempertahankan diri dari bahaya. Dahulu bila ada orang asing yang ingin menumpang/menginap di desa setelah mendapat izin dari pemimpin desa maka orang itu akan diarahkan untuk menginap di kuil desa atau lobo ( J.Kruyt dalam Kabar Keselamatan di Poso hal. 23). Namun bila tidak ada tempat maka orang asing tersebut akan diberi tempat menginap di bawah salah satu lumbung padi. Hanya sanak dan sahabat yang diperbolehkan untuk menggelarkan tikar untuk pembaringannya.
Semasa agama suku, kekuasaan yang paling berpengaruh dan paling luas jangkauannya adalah kerajaan Bugis-Luwu dengan ibukotanya di Palopo. Raja atau ratu dari kerajaan ini diberi gelar Datu.

Masyarakat Desa
Anggota – anggota suku tinggal di desa – desa bersama – sama secara berkelompok. Untuk pengertian desa masyarakat poso (pamona) mempunyai suatu kata  ‘lipu” yang berarti tempat yang berpagar sekelilingnya. Berkampung atau berkumpul (lipu) ini mempunyai watak sendiri dan berbeda – beda namun satu dalam suku pamona.

Suku Pamona Dalam Periode setelah Masuknya Agama Kristen dimotori Belanda (1892~)
Perintisan mengenai jalan kedatangan agama Kristen sudah dimulai dari tahun 1891 (Kambodji dalam Wajah GKST hal.3). Dalam kunjungan ini seorang Albertus Christian Kruyt (10 oktober 1869) adalah utusan Zending Belanda yang mengunjungi 3 perkampungan di tanah poso.  Dalam kunjungan ini A.C Kruyt diperkenalkan oleh asisten residen Belanda sebagai guru dan sando (dokter). Boleh dikatakan bahwa kunjungan Kruyt ini sebagai suatu perkenalan dengan tanah poso.
Kunjungan keduanya terjadi pada 16 Februari 1892 dan Kruyt sendiri sudah mulai menetap di Poso. Di Poso Kruyt mulai melaksanakan tugas di tengah – tengah masyarakat dan bersama – sama dengan penduduk membangun sekolah dan akses jalan. Setiap sore hari ia mengunjungi penduduk di rumah – rumah mereka, dan pada akhirnya ia mengenal lebih banyak lagi kebiasaan – kebiasaan mereka. Kruyt mulai memperkenalkan cara menyembuhkan penyakit yang berbeda dengan kebiasaan orang poso yakni pengobatan rahasia oleh imam kafir (tadu mburake) yang mengobati dengan pengetahuan animism. Kruyt mengobati orang sakit dengan cara – cara yang tidak rahasia yaitu menggunakan obat dan didoakan. Ia pun setiap hari mengadakan percakapan – percakapan mengenai kehidupan praktis. Ia mulai mendekati seorang kepala kampung (kabose) yang bernama Papa I Wunte di desa Woyomakuni (kampung lama). Ia menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sekolah rakyat, dan Papa I Wunte menyambut baik rencana itu. Papa I Wunte sendiri beserta isterinya adalah orang Pamona pertama yang dibaptis di tanah Poso.  Tidak menunggu lama Kruyt kembali ke Gorontalo dan membahas rencana ini dengan Zending ( Juni 1892).
Sekembalinya dari Gorontalo Kruyt semakin gencar melakukan pertemuan – pertemuan  dan mulai menceritakan kisah Alkitab juga berdoa. Dalam banyak kesempatan ia menulis buku – buku untuk digunakan di sekolah dan menghubungi sekolah guru yang berada di Tomohon untuk meminta tenaga – tenaga pengajar (guru) untuk membantunya di Poso.
Pada akhir tahun 1893, Kruyt sudah menetap di Poso. Dalam perjalanan penginjilannya banyak kampung yang dipindahkan dari gunung dan mendekati jalan. Pada tahun 1896 Kruyt beserta Nicolas Adriani (yang tiba di tahun 1895 sebagai penerjemah) mengadakan perjalanan jauh yang bertujuan untuk membebaskan seluruh penduduk di tanah Poso dari kekuasaan Datu Luwu di Palopo. Kruyt menuju Makassar dan meminta gubernur Belanda di sana untuk memberikan surat pembebasan kekuasaan Datu Luwu atas Tanah Poso. Dengan dikeluarkannya surat itu Datu Luwu tidak dapat berbuat apa – apa dan kekuasaannya berakhir di tanah Poso. Atas banyak usaha – usaha dan karyanya maka pada tahun 1897 Kruyt di anugerahi penghargaan Bintang Oranje Nassau oleh pemerinta Hindia Belanda.
Kruyt dan para penginjil Zending berusaha keras menjadikan tanah poso sebagai tempat dengan masyarakat yang menerima Kristus. Dalam beberapa wawancara dengan tokoh ditemukan fakta bahwa agama suku yang berkembang di Poso diusahakan agar lenyap termasuk dengan kebiasaan – kebiasaan akan roh – roh kegelapan.
Dalam setiap pos pekabaran injil yang dibangun oleh Kruyt di bangun sekolah yang menampung murid – murid dari kampung sekitarnya. Di sekolah itu pengajarnya adalah guru – guru dari Minahasa. Sekolah Guru pun mulai dibangun di Pendolo pada tahun 1912. Di samping semuanya itu, Kruyt tekun mengabadikan hasil penemuannya dalam setiap perkunjungan di Poso. Karyanya itu dicetak di Belanda yang diberi judul: “De Bare’e sprekende Toradjas Van Midden Celebes”.  
Pada tahun 1932 A.C Kruyt bersama istrinya kembali ke negeri Belanda. Ia telah merintis penanaman benih Injil bagi penduduk di Tanah Poso dan Tuhan sendiri yang menumbuhkan dan mengembangkannya. Di Belanda Kruyt menjadi anggota pengurus Zending dan mencetus ide agar Sekolah Guru di Poso dikembangkan menjadi sekolah pendidikan Teologia karena Zending akan sulit menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat Poso. Kruyt mengharapkan agar jemaat – jemaat hasil pekabaran injil di Sulawesi Tengah dapat mendirikan satu organisasi gerejawi sendiri. Harapan ini muncul setelah ia mendengar bahwa di Sulawesi Utara telah lahir Gereja Masehi Injili di Minahasa pada tahun 1934 dan di Maluku telah lahir Gereja Protestan Maluku pada tahun 1935.
Pada waktu itu terjadi perang dunia kedua hubungan penginjilan terputus dan Zending mengalami banyak tekanan. Dalam keadaan tersebut penatua- penatua dan para guru – guru jemaat mau tidak mau harus mandiri mengurusi jemaat masing – masing. Sesudah perang dunia berakhir maka kemandirian jemaat sudah teruji dan mulai berdirilah persekutuan gereja – gereja baru yang berani menyatakan dirinya. Pada tanggal 18 Oktober 1947 Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) berdri dan menyatakan dirinya sebagai salah satu persekutuan gereja di Indonesia. Berita ini menjadi kesukaan bagi Kruyt dalam massa hidupnya dimana menyaksikan karya penginjilannya berdiri jadi satu organisasi gerejawi.

Pada tanggal 19 Januari 1949, Albertus Christian Kruyt yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk pekabaran injil di tanah Poso kembali ke pangkuan Bapa di Sorga.

*sumber :  Kruyt Johannes. 1977. Kabar Keselamatan di Poso. Jakarta: BPK Gunung Mulia ;  Tanggerahi dkk. 1992. Wajah GKST. Malang: Dioma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar