Pengaruh Agama Kristen Terhadap Suku Pamona di Kabupaten Poso
Suku Pamona Dalam Periode Agama
Suku (~1892)
J. Kruyt (anak dari A.C Kruyt/ penginjil pertama di
Poso) dalam Kabar Keselamatan di Poso
hal.38 menulis bahwa terdapat kepercayaan terhadap dewa – dewa yang berkembang
sebelum masuknya penginjilan di tanah Poso (kurun waktu sebelum 1892). Ada satu
istilah yang digunakan untuk merepresentasikan dewa yaitu Lamoa. Lamoa diterjemahkan sebagai dewa yang ilahi baik para bapa
leluhur yang diperdewakan maupun roh – roh alam dan dewa – dewa langit (Woordenboek, Adriani dalam J.Kruyt
hal.38). Masyarakat pamona mempercayai bahwa Lamoa adalah kuasa yang tidak
kelihatan yang menentukan hidup matinya manusia dan segala makhluk hidup di
dunia ini.
Selain Lamoa ada pula istilah yang paling dikenal suku
Pamona yaitu Mpue Mpalaburu / Tuhan
Pencipta ( J. Kruyt dalam Kabar Keselamatan
di Poso hal. 39). Suku Pamona mempercayai bahwa Mpue Mpalaburu tinggal di tempat terbit dan terbenamnya matahari.
Dialah yang menciptakan manusia.
Dalam periode agama suku, orang – orang Pamona sebenarnya
telah menyadari bahwa ada satu kuasa di luar manusia yang memegang kendali
kehidupan di alam semesta ini.
Kehidupan
Sepanjang hidupnya orang – orang Pamona merasa bahwa
dirinya termasuk dalam satu persekutuan tempat dimana ia lahir. Ini tidak
berdasarkan pilihannya sendiri, tetapi merupakan suatu keadaan yang ditentukan.
Terdapat istilah Tanoana yang
diartikan sebagai pengendali setiap individu atau sesuatu yang bernapas. Dalam
istilah dr. Adriani (Pendamping J. Kruyt) tanoana
dapat meninggalkan tubuh untuk sementara. Hal ini terjadi pada waktu insan yang
bersangkutan tertidur dan apa yang diimpikan oleh seseorang yang tertidur
adalah hal yang benar terjadi pada tanoananya yang mengembara. Hal serupa juga
terjadi pada seseorang yang jatuh pingsan, dimana tanoananya pergi meninggalkan
dirinya.
Demikianlah kita melihat bahwa tanoana berdiri sendiri,
mengamati, bergerak dan mempunyai semacam kepribadian sendiri yang mendasari
penentuan tabiat dan kehidupan manusia yang bersangkutan. Dapat disimpulkan
bahwa seluruh kehidupan di bumi ini tersusun oleh tanoana yang beraneka ragam
baik bentuk dan fungsinya. Dengan tanoana ini manusia bisa hidup dan
beraktifitas dalam kesehariannya.
Kematian
J. Kruyt dalam Kabar
Keselamatan di Poso hal. 48 menulis bahwa kematian oleh suku pamona adalah
peristiwa berpindahnya status seseorang ke eksistensi yang lain. Artinya tanoana kehilangan fungsinya beserta
eksistensinya. Orang yang sudah mati akan hidup dalam eksistensi yang lain dan
ia disebut angga. Angga oleh sebagian
tokoh agama kampung disebutkan langsung pergi ke wilayah – wilayah sorga.
Walaupun demikian bagi orang – orang yang fana lainnya perjalanannya justru ke
dunia bawah. Di dunia bawah para angga akan bertemu dengan hakim yang akan
melihat apakah orang mati tersebut telah melunasi kewajibannya dalam kehidupan
kebersamaannya, misalnya bagi laki – laki membentuk keturunan dan
mengayau(berperang). Hakim tidak meminta pertanggungan –jawaban untuk bermacam
– macam salah yang telah dilakukan orang mati semasa hidupnya.
Pertanian
Pertanian sudah mendarah daging bagi seorang Poso (J.
Kruyt dalam Kabar Keselamatan di Poso
hal. 61). Perladangan ialah dasar perekonomian dan menguasai hidupnya dalam
arti yang luas. Pembagian tahun, penetapan waktu – waktu tertentu selama satu
tahun, semuanya itu adalah didasarkan atas kesibukan – kesibukan di ladang.
Orang – orang Poso secara khusus suku Pamona mempunyai satu kata yang dalam
artinya sangat erat bertalian dengan pekerjaan yaitu Mejama berarti menyentuh dengan tanah atau bekerja dengan tangan
atau juga mengerjakan pertanian. Istilah ini kemudian lebih dikenal dengan Mojama yang lebih erat kaitannya dengan
bertani.
Situasi
Politik
Di zaman periode agama suku, berkali – kali masyarakat
di Poso digelisahkan oleh perang dan penyerbuan orang – orang secara tiba –
tiba. Desa (lipu) adalah suatu tempat
berkubu, dimana semua orang berkumpul, bukan hanya untuk perayaan – perayaan
bersama dan upacara – upacara agama, tetapi juga untuk mencari perlindungan dan
mempertahankan diri dari bahaya. Dahulu bila ada orang asing yang ingin
menumpang/menginap di desa setelah mendapat izin dari pemimpin desa maka orang
itu akan diarahkan untuk menginap di kuil desa atau lobo ( J.Kruyt dalam Kabar Keselamatan di Poso hal. 23).
Namun bila tidak ada tempat maka orang asing tersebut akan diberi tempat
menginap di bawah salah satu lumbung padi. Hanya sanak dan sahabat yang
diperbolehkan untuk menggelarkan tikar untuk pembaringannya.
Semasa agama suku, kekuasaan yang paling berpengaruh
dan paling luas jangkauannya adalah kerajaan Bugis-Luwu dengan ibukotanya di
Palopo. Raja atau ratu dari kerajaan ini diberi gelar Datu.
Masyarakat
Desa
Anggota – anggota suku tinggal di desa – desa bersama
– sama secara berkelompok. Untuk pengertian desa masyarakat poso (pamona)
mempunyai suatu kata ‘lipu”
yang berarti tempat yang berpagar sekelilingnya. Berkampung atau berkumpul
(lipu) ini mempunyai watak sendiri dan berbeda – beda namun satu dalam suku
pamona.
Suku Pamona Dalam Periode setelah
Masuknya Agama Kristen dimotori Belanda (1892~)
Perintisan mengenai jalan kedatangan agama Kristen
sudah dimulai dari tahun 1891 (Kambodji dalam Wajah GKST hal.3). Dalam kunjungan ini seorang Albertus Christian
Kruyt (10 oktober 1869) adalah utusan Zending Belanda yang mengunjungi 3
perkampungan di tanah poso. Dalam
kunjungan ini A.C Kruyt diperkenalkan oleh asisten residen Belanda sebagai guru
dan sando (dokter). Boleh dikatakan
bahwa kunjungan Kruyt ini sebagai suatu perkenalan dengan tanah poso.
Kunjungan keduanya terjadi pada 16 Februari 1892 dan
Kruyt sendiri sudah mulai menetap di Poso. Di Poso Kruyt mulai melaksanakan
tugas di tengah – tengah masyarakat dan bersama – sama dengan penduduk
membangun sekolah dan akses jalan. Setiap sore hari ia mengunjungi penduduk di
rumah – rumah mereka, dan pada akhirnya ia mengenal lebih banyak lagi kebiasaan
– kebiasaan mereka. Kruyt mulai memperkenalkan cara menyembuhkan penyakit yang
berbeda dengan kebiasaan orang poso yakni pengobatan rahasia oleh imam kafir (tadu mburake) yang mengobati dengan
pengetahuan animism. Kruyt mengobati orang sakit dengan cara – cara yang tidak
rahasia yaitu menggunakan obat dan didoakan. Ia pun setiap hari mengadakan
percakapan – percakapan mengenai kehidupan praktis. Ia mulai mendekati seorang
kepala kampung (kabose) yang bernama
Papa I Wunte di desa Woyomakuni (kampung lama). Ia menyampaikan keinginannya
untuk mendirikan sekolah rakyat, dan Papa I Wunte menyambut baik rencana itu.
Papa I Wunte sendiri beserta isterinya adalah orang Pamona pertama yang
dibaptis di tanah Poso. Tidak menunggu
lama Kruyt kembali ke Gorontalo dan membahas rencana ini dengan Zending ( Juni
1892).
Sekembalinya dari Gorontalo Kruyt semakin gencar
melakukan pertemuan – pertemuan dan mulai
menceritakan kisah Alkitab juga berdoa. Dalam banyak kesempatan ia menulis buku
– buku untuk digunakan di sekolah dan menghubungi sekolah guru yang berada di
Tomohon untuk meminta tenaga – tenaga pengajar (guru) untuk membantunya di
Poso.
Pada akhir tahun 1893, Kruyt sudah menetap di Poso.
Dalam perjalanan penginjilannya banyak kampung yang dipindahkan dari gunung dan
mendekati jalan. Pada tahun 1896 Kruyt beserta Nicolas Adriani (yang tiba di
tahun 1895 sebagai penerjemah) mengadakan perjalanan jauh yang bertujuan untuk
membebaskan seluruh penduduk di tanah Poso dari kekuasaan Datu Luwu di Palopo.
Kruyt menuju Makassar dan meminta gubernur Belanda di sana untuk memberikan
surat pembebasan kekuasaan Datu Luwu atas Tanah Poso. Dengan dikeluarkannya
surat itu Datu Luwu tidak dapat berbuat apa – apa dan kekuasaannya berakhir di
tanah Poso. Atas banyak usaha – usaha dan karyanya maka pada tahun 1897 Kruyt
di anugerahi penghargaan Bintang Oranje
Nassau oleh pemerinta Hindia
Belanda.
Kruyt dan para penginjil Zending berusaha keras menjadikan
tanah poso sebagai tempat dengan masyarakat yang menerima Kristus. Dalam
beberapa wawancara dengan tokoh ditemukan fakta bahwa agama suku yang
berkembang di Poso diusahakan agar lenyap termasuk dengan kebiasaan – kebiasaan
akan roh – roh kegelapan.
Dalam setiap pos pekabaran injil yang dibangun oleh
Kruyt di bangun sekolah yang menampung murid – murid dari kampung sekitarnya. Di
sekolah itu pengajarnya adalah guru – guru dari Minahasa. Sekolah Guru pun
mulai dibangun di Pendolo pada tahun 1912. Di samping semuanya itu, Kruyt tekun
mengabadikan hasil penemuannya dalam setiap perkunjungan di Poso. Karyanya itu
dicetak di Belanda yang diberi judul: “De
Bare’e sprekende Toradjas Van Midden Celebes”.
Pada tahun 1932 A.C Kruyt bersama istrinya kembali ke
negeri Belanda. Ia telah merintis penanaman benih Injil bagi penduduk di Tanah
Poso dan Tuhan sendiri yang menumbuhkan dan mengembangkannya. Di Belanda Kruyt
menjadi anggota pengurus Zending dan mencetus ide agar Sekolah Guru di Poso
dikembangkan menjadi sekolah pendidikan Teologia karena Zending akan sulit
menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat Poso. Kruyt mengharapkan agar jemaat –
jemaat hasil pekabaran injil di Sulawesi Tengah dapat mendirikan satu
organisasi gerejawi sendiri. Harapan ini muncul setelah ia mendengar bahwa di
Sulawesi Utara telah lahir Gereja Masehi Injili di Minahasa pada tahun 1934 dan
di Maluku telah lahir Gereja Protestan Maluku pada tahun 1935.
Pada waktu itu terjadi perang dunia kedua hubungan
penginjilan terputus dan Zending mengalami banyak tekanan. Dalam keadaan
tersebut penatua- penatua dan para guru – guru jemaat mau tidak mau harus
mandiri mengurusi jemaat masing – masing. Sesudah perang dunia berakhir maka
kemandirian jemaat sudah teruji dan mulai berdirilah persekutuan gereja –
gereja baru yang berani menyatakan dirinya. Pada tanggal 18 Oktober 1947 Gereja
Kristen Sulawesi Tengah (GKST) berdri dan menyatakan dirinya sebagai salah satu
persekutuan gereja di Indonesia. Berita ini menjadi kesukaan bagi Kruyt dalam
massa hidupnya dimana menyaksikan karya penginjilannya berdiri jadi satu
organisasi gerejawi.
Pada tanggal 19 Januari 1949, Albertus Christian Kruyt
yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk pekabaran injil di tanah Poso
kembali ke pangkuan Bapa di Sorga.
*sumber : Kruyt Johannes. 1977. Kabar Keselamatan di Poso. Jakarta: BPK Gunung Mulia ; Tanggerahi dkk. 1992. Wajah GKST. Malang: Dioma
*sumber : Kruyt Johannes. 1977. Kabar Keselamatan di Poso. Jakarta: BPK Gunung Mulia ; Tanggerahi dkk. 1992. Wajah GKST. Malang: Dioma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar